“Uwaa...!!!” terdengar suara tangis bayi di petak kecil sebuah gubuk tua. Sang ibu tergopoh-gopoh menyambar anaknya. Kemudian menyanyikan lagu mainan jawa pada anaknya sambil diayunkannya sang anak ke kanan dan ke kiri. Manjur juga senandung ibunya, karena tiba-tiba sang anak diam dan terlarut pada rasa kantuk. Sang ibu terus bersenandung sambil melanjutkan aktivitas yang semapt ditinggalkannya tadi, menyapu lantai tanahnya yang telah mengeras. Kemudian masih ada banyak pekerjaan yang menunggunya, memandikan Ali, si bungsu yang baru berumur 2 tahun, mencari kayu bakar di hutan, menanak nasi, dan masih banyak lagi. Untung saja, tugasnya dibantu oleh kedua anaknya yang mulai beranjak besar. Tulip dan Gatot. Suaminya sudah berangkat pagi-pagi sekali. Supri, lelaki yang telah mendampingi hidupnya selama 14 tahun itu bekerja sebagai penambang batu di desa Ngarsorejo yang berjarak 45 km dari rumahnya. Benar-benar jauh, dan Supri hanya mengendarai sebuah sepeda kayuh Phoenix lama yang telah berkarat sana-sini.
Sambil menanak nasi, Marni melamunkan hidupnya. Ini bukan cita-citanya. Tentu saja, siapa yang mau hidup di tengah padang ilalang luas yang mempunyai tetangga terdekat 15 km jauhnya. Siapa yang mau, hidup miskin yang makan seadanya dengan 3 anak yang semakin besar semakin menambah biaya. Siapa yang mau jadi orang yang tak berpendidikan. Siapa yang mau tinggal di gubuk kecil yang tak terjamah listrik sama sekali. Miris memang, menjadi orang tak berpendidikan, ingin hati menyekolahkan kedua anaknya yang telah berumur 12 tahun dan 9 tahun itu, namun apa daya jika untuk makan sehari-hari pun harus bekerja mati-matian. Bagi mereka, sekolah,belajar dan buku adalah kata-kata yang tabu.
“Kini, Tulip benar-benar beranjak dewasa. 2 hari yang lalu meminta izin untuk bekerja di kota, tapi bagaimana mungkin aku tega mengizinkannya? Selama hidupku saja aku baru saja dua kali ke kota itupun ketika aku masih kecil. Bagaimana mungkin aku merelakan anakku untuk mengadu nasib di tempat yang tak ku kenal” pikiran Marni berkecamuk mengenai kehidupan keluarganya.
Tapi bagaimanapun juga ini adalah pilihannya. Menikah di usia 17 tahun dengan seorang pemuda pilihan ibunya. Tentu saja Marni tak menolak, karena Supri adalah pemuda yang lemah lembut, sabar, sopan dan pekerja keras. Pembawaanya yang alim, langsung membuat Marni jatuh cinta ketika bertemu dengan Supri.
Marni tiba-tiba terhenyak, teringat akan kata-kata suaminya tadi pagi sebelum berangkat. Sambil mencium kenaing Marni, sesuatu yang jarang terjadi, dan dengan tatapan mata sayu, Supri mengatakan sesuatu yang membuatnya penasaran sampai saat ini. “Marni, aku akan memberimu kejutan” katanya sambil tersenyum. Senyum itu masih meninggalkan kesan dalam di hati Marni. Kemudian suaminya pergi, Marni masih terpaku mamandang siluet suaminya yang tercipta karena hembusan cahaya fajar. Sayangnya, Marni tidak suka kejutan, karena itu membuatnya penasaran. Seumur-umur baru kali ini Marni mengenal sebuah kata kejutan dalam kalimatnya. Dan itu membuatnya tidak tenang.
Marni kemudian bergegas memandikan Ali, kedua anaknya yang lain telah meninggalkan rumah satu jam yang lalu. Mereka membantu pekerjaan ibunya, mencuci pakaian di kali pinggir hujan. Ketika Marni hampir beranjak menuju belakang rumahnya, tiba-tiba di ujung jalan dia melihat sebuah mobil pick-up sedang menuju rumahnya. Marni menatap tak percaya, “apakah mereka tersesat?”. Sekali lagi ini adalah kejadian aneh dalam hidupnya. Sebuah mobil menuju rumahnya? “siapa?” , “untuk apa?” dan “kenapa?”. Mobil itu kini semakin dekat dan mangambil posisi untuk berhenti di depan rumahnya. Marni keluar dan bertanya setengah tergagap, bukan hanya karena kaget tapi juga karena Bahasa Indonesianyayang tak terlalu lancar, “apakah anda tersesat?”. Sang sopir turun, dan tersenyum. “tidak, aku membawa kejutan dari Supri”. Marni terlonjak mendengar kata itu lagi “kejutan?”. Lalu 2 orang yang berada di bagian belakang menurunkan sebuah sepeda kayu baru. Marni benar-benar terkejut bukan main. “inikah yang namanya kejutan?”. Perasaannya meluap-luap. Senang, terharu, malu, bingung, semua jadi satu. Dihadapannya kini, berdiri sebuah sepeda kayuh merah menyala. Marni terpaku, takjub. Dia mengagumi kejutannya. Tiba-tiba dia merasa suka kejutan. Sangat suka.
Kemudian salah satu dari mereka berkata, “ada pesan titipan dari mas Supri, katanya hadiah ini adalah hadiah pernikahan kalian,semoga kamu menyukai hadiah ini. Malam ini akan menjadi malam yang indah di pasar malam Palem”, sambil tersenyum lelaki itu menuju mobilnya dan mengajak kedua temannya pergi. Mereka meninggalakan Marni yang terpaku sendiri. Menatap kejutannya. Air matanya mulai menetes, ada perasaan haru yang menyesakkan, kemudian timbul rasa cinta yang menggebu-gebu pada suaminya. Timbul rasa ingin setia dan mengabdi pada suaminya walaupun kemiskinan makin hari semakin mengikis kebahagiaan mereka. Darimana suaminya bisa mendapat uang sebanyak ini? Pikiran itu berkelebat sebentar di pikiran Marni. Tapi saat ini, hatinya terlalu berbunga-bunga untuk memikirkan hal semacam itu. Marni sangat terkejut, mengetahui bahwa hari ini adalah hari pernikahan mereka, pernikahan 14 tahun yang lalu, yang begitu sederhana. Dan bahkan tak meninggalkan kesan mendalam di hati Marni. Tapi hari ini adalah hari terindah untuk Marni. Dan nanti suaminya akan mengajak ke pasar malam di desa Palem, 15 km jauhnya dari gubuk miliknya.marni ingat betapa ia merajuk pada Supri untuk mengajaknya ke pasar malam bersama anak-anak. Suaminya, seperti biasa hanya tersenyum dan berkata, “sepeda kita tidak cukup Mar”. Dan kalimat itu cukup membungkap mulut dan menguapkan harapan Marni. Namun hari ini, harapannya akan terwujud! Supri benar-benar membuat Marni bahagia hari ini, lebih dari kebahagiaan apapun yang pernah dirasakan oleh Marni.
Marni membayangkan ia dan suaminya menelusuri jalan kecil menuju desa Palem. Ia akan membonceng Tulip, dan suaminya akan menbonceng Gatot dan si kecil Ali. Mereka akan tertawa-tawa sepanjang jalan. Dan Marni akan memandang suaminya penuh cinta lebih dari apa yang telah ia tunjukkan 14 tahun terakhir. Tiba-tiba dia merasa suaminya akan pulang lebih awal. Mereka akan membutuhkan waktu untuk bersiap-siap ke pasar malam. Biasanya suaminya pulang jam 5 sore. Tapi Marni yakin, Supri akan pulang lebih cepat.
“aku akan memberikan kejutan sebelum mas Supri saat mas supri pulang” pikir Marni. Dengan cekatan ia mengencangkan gendongan Ali di punggungnya dan membawa masuk hadiahnya dengan hati-hati, ditaruhnya di pojok gubuknya dan ditutupinya dengan jarik gendongan lusuh. Lalu, ia melesat ke dapur mengambil pisau dan tas keranjang. Dia pun tergesa-gesa menutup pintu rumahnya dan bergegas ke hutan, ia akan memasak makanan spesial untuk suami tercintanya. Namun sebelum itu dia harus mencari bahan-bahan makanan di hutan. “semoga aku beruntung hari ini” doa Marni sebelum berangkat. Kadang di hutan, jika kita beruntung kita bisa mendapatkan bahan makanan langka yang melimpah ruah, yang jika dimasak dengan bumbu sederhana akan menjadi masakan yang sangat lezat. Namun, jika kita tidak beruntung kita bisa bertemu seekor harimau atau minimal seekor babi hutan. Dan tetap saja, keduanya mengancam nyawa Marni. Namun, hari ini dia akan melakukan apa saja untuk membalas jasa suaminya.
Setelah dia berangkat ke hutan, Marni menyempatkan diri untuk berpamitan pada kedua anaknya di kali pinggir hutan.
“nduk,le, mamak arep nyang alas gede. Arep golek bakal panganan. Tulip, adimu jogoen”
“inggih buk,ngatos-atos”
“yo”
Seraya menjawab anaknya, Marni segera melesat ke hutan. Dia berharap akan menemukan jamur langka yang sangat jarang ditemukan. Marni tak sengaja menemukannya sekitar 6 bulan yang lalu. Dan ia tambahkan pada sayur terong masakannya. Dan hasilnya,benar-benar enak. Pikirannya melayang-layang pada ekspresi yang bakal ditunjukkan suaminya nanti. Mungkin perasaan Marni sekarang sama dengan apa yang dirasakan Supri pagi tadi. Kini, Marni telah melangkah terlalu jauh. Kakinya yang tak beralas samasekali sudah mengelurakan darah yang membuat Marni merasa perih. Namun dia tak patah semangat, tas keranjangnya belum terisi apa-apa, sedangkan nyeri mulai menjalar dari terlapak kakinya. Patahan kayu maupun duri tanaman membuat kulit telapak kaki Marni robek semakin lebar dan dalam. Beban tubuh Ali di punggungnya, membuat Marni semakin letih. Dia tiba-tiba merasa pusing, Marni terhuyung ke kanan. Dia tak menyadari ranting tajam yang mencuat dari pohon setinggi pundaknya. “aduuh!”, terlambat ranting itu kini telah menyobek lengan atas Marni. Tampaknya luka tersebut cukup dalam. Ia merasakan kenyerian dan tetes darah mengalir semakin deras. Ia bisa melihat daging lengannya menganga dan mengeluarkan cairan merah pekat.
Marni berusaha kuat. Tiba-tiba ia melihat apa yang dicarinya. Jamur yang berwarna coklat muda itu terlihat di bawah sebuah pohon pinus lembab. Mata Marni kini berbinar bahagia, ia mendekati pohon itu dengan jalan yang terseok-seok. Maklum saja kakinya kini benar-benar terasa perih apalagi semakin dia melangkah semakin banyak benda asing yang melukai kulit terbukanya. Ia berdiri tepat di depan pohon pinus, kemudian ia berjongkok untuk mengambil jamur yang menjadi tujuannya. Ketika ia sedang asyik mencabuti jamur itu, terdengar olehnya derap kaki mendekat yang membuatnya was-was. Ia menoleh pada anak bungsunya, si kecil itu sedang meringgkuk di gendongannya. Ketika derap kaki itu terdengar semakin dekat, ia buru-buru berdiri dan segera meninggalkan tempat itu. Tapi terlambat! Seekor babi hutan sedang berlari di sekitar tempat itu. Ia buru-buru berlari sebisanya untuk keluar dari hutan. Ia tak ingin babi hutan itu menyadari keberadaanya. Marni terus berlari, mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Perih di tubuhnya, benar-benar tak dihiraukannya mengingat suaminya Supri yang akan menikmati masakannya nanti.
Ternyata Marni terlampau jauh masuk ke dalam hutan, nyatanya setelah ia berlari kecil sekitar 10 menit ia belum juga melihat sungai yang membatasi hutan dengan padang ilalang, tempat Marni tinggal. Tiba-tiba Ali menangis, mungkin ia kaget saat sadar Ibu yang menggendongnya sedang berlari. Marni juga sudah mulai merasa letih, ia merasa sudah menghabiskan waktu berjam-jam di hutan. Marni merasa tenaga yang dimilikinya semakin melemah, ia hanya perlu melakukan satu hal untuk mengembalikan semangatnya kembali. Yaitu, mengingat senyum Supri, suami tercintanya. Ia kembali berjalan cepat dengan mantap. Ali digendongnya di depan, sambil ia nyanyikan sebuah lagu.
Akhirnya ia melihat sungai itu, Marni semakin mempercepat langkahnya. Dilewatinya sungai itu dengan hati-hati dan beberapa waktu kemudian sampailah ia di gubuk kecilnya. Dilihatnya Tulip dan Gatot sedang membuat sapu lidi untuk dijual bapaknya esok hari.
“mamak sampur kundur” sambut Gatot
“mak, njenengan “ Tulip khawatir
“ora nduk, mamak ora gene-gene, Gatot iki momongen Ali. Mamak arep masak kanggo bapak. Tulip ngewangi mamak”
“nopo boten diobati rumiyin mak?”
“orasah Lip, selak bapakmu mulih. Ayo nyang pawon”
Kemudian, disuruhnya Tulip meracik bumbu-bumbu yang diperlukan. Sementara Marni membersihkan jamurnya. Selama proses memasak itu Marni sering tersenyum sendiri, sambil sesekali mencuri pandang ke arah kejutannya. Perih yamg dirasakannya, meskipun belum terobati sama sekali tak menyurutkan semangatnya untuk membalas kejutan dari suaminya.
Sebentar lagi masakannya akan selesai, ia mengambil mangkok putih bergambar ayam jago. Magkok itu sangat jarang dipakainya, dan kali ini akan dipakai untuk menyiapkan porsi spesial untuk suaminya. Kini sup jamur buatannya telah kelihatan sudah jadi. Baunya memang benar-benar mengundang selera siapa saja yang menciumnya. Ketika Marni tengah mengambil semangkok sup jamur untuk Supri, anaknya Gatot mamanggil-manggil namanya. Segera saja ia keluar untuk menghampiri anaknya. Disana dilihatnya Paijo dan seorang lagi yang tak dikenalnya.
“Ono opo iki?” tanya Marni bingung. Semua diam saja.
“Enek opo Jo koe menyang omahku. Mas Supri endi?” Marni bertanya kembali dan dilihatnya muka Paijo yang seakan yang ingin dikatakanya akan membuat Marni sengsara seumur hidup. Dan dengan berat hati Paijo berkata,
“Iki mau bar enek longsor neng penambangan watu... Supri ketindihan watu gede.”
Paijo menarik nafas panjang,
“Bojomu mati Mar...”
Marni tak bisa bicara, ia merasa seakan langit runtuh menimpanya. Yang ia dengar terakhir kali adalah jeritan putri sulungnya, sesaat ketika pingsan merenggut semua kesadaran dari raganya. Mas Supri mati...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar