Selasa, 20 Desember 2011

5 Buku tentang Geisha

1. Meoirs of Geisha (Arthur Golden)
Buku ini menggambarkan betapa beratnya hidup Chiyo yang dijual oleh orang tuanya ke Okiya ketika dia berumur 9 tahun. Pertama-tama kehidupan yang dialaminya sunnguh memprihatinkan, namun semua itu berubah ketika Mameha, seorang Geisha terkenal melindunginya dan mengangkatnya menjadi adik. Dari sanalah dia mulai meniti karir menjadi seorang Geisha. Perjalanannya tidaklah mulus, semua itu dilaluinya dengan penuh penderitaan. Namun akhirnya Chiyo yang kemudian berganti nama menjadi Sayuri mempunyai reputasi tinggi di kalangan para Geisha.






2. Geisha of Gion (Mineko Iwasaki)
Buku ini adalah memor dari seorang Geisha terkenal yang bernama Mineko Iwasaki. Di buku ini kita diajak untuk melihat kehidupan sebenarnya dari seorang Geisha. Berbeda dengan kisah Chiyo, Mineko tidak dijual orang tuanya ke Okiya. Dia memang ingin tinggal disana karena itulah satu-satunya cara untuk menjadi Noh mai (salah satu jenis tarian jepang). Pada buku ini Okiya malah terlihat seperti asrama elit putri, tidak seperti yang digambarkan pleh Arthur Golden. Tinggal di Okiya seperti suatu keberhasilan tinggi yang didapat Mineko. Buku ini benar-benar berbeda dengan Memoirs of Geisha. Anda harus membacanya.






3. Perempuan Kembang Jepun (Lan Fang)
Pada tiap bab, pengarang menjadi tokoh yang berbeda-beda. Jadi novel ini mempunyai bab-bab tersendiri yang mengisahkan dan mengungkap karakter Sulis, Matsumi, Tjoa Kim Hwa, Sujono dan Lestari. Hampir semua tokoh digambarkan secara kelam dan memiliki pilihan-pilihan hidup yang salah dan sulit untuk dijalani. Dengan adanya bab-bab tersendiri dari masing-masing tokoh dalam novel ini, maka semua tokoh yang muncul tereksplorasi dengan baik, dan masing-masing, dan masing-masing peristiwa dilihat dari sudut pandang tokohnya masing-masing. Membaca seperti menyusun sebuah rangkaian puzzle yang lambat laun akan memberikan gambaran utuh dari kisah dalam novel ini.


4. Butterfly in the Wind (Rei Kimura)
Shimoda tahun 1856, Okichi Saito bertunangan dengan Tsurumatsu, seorang tukang kayu, ketika itu ancaman kapal-kapal berwarna hitam samar-samar tampak di teluk: Amerika Serikat meminta Jepang membuka pasarnya. Sang Duta, Townsend Harris, yang akhirnya menjadi Konsul Jenderal, terpikat oleh kecantikan Okichi ketika melihat gadis itu berjalan dari sebuah pemandian umum. Para pejabat Jepang, yang menganggap gadis berumur 15 tahun itu hanya sebagai budak dalam negosiasi-negosiasi mereka, menyerahkannya kepada Harris- untuk melayani pelampiasan nafsunya. Lima tahun kemudian Harris kembali ke negaranya karena kesehatannya menurun. Okichi saat itu bebas, tetapi sebagai seorang yang terluka, dilecehkan oleh orang-orang sekitarnya, selamanya menjadi seorang Tojin, gundik orang asing. Dalam keadaan demikian, pertemuannya kembali dengan Tsurumatsu berakhir sebagai sebuah kisah cinta yang tragis, yang paling menyentuh. 


5. Kembang Jepun (Remy Sylado)




kisah seorang keke, seorang gadis dari manado yang dijual oleh kakaknya untuk menjadi seorang geisha di salah satu rumah makan yang menyediakan pelayanan geisha seperti okiya di daerah kembang jepun orang-orang menyebutnya kembang jepun karena dulu disitulah tempat hiburannya para tentara jepang yang dulu biasa disebut sebagai jepun, disitulah keke dijual dan dijadikan geisha, keke diberi pelajaran tentang kebudayaan jepang, mulai dari belajar samisen-alat petik tiga dawai , taiko-genderang kecil yang sering dimainkan geisha, kemudian bernyanyi, menari dan belajar bahasa jepang.karena itulah nama keke pun berubah menjadi keiko, karena dia sekarang sudah menjadi orang jepang dan menjadi seorang geisha, dia menjadi kembangnya jepun saat itu, dan karena itulah dia mengenal djak broto seorang wartawan yang mampu menggetarkan hatinya, pada suatu hari djak broto datang untuk menyaksikan pertunjukan keiko di okiya itu dan djak broto ditemani oleh keiko, mereka bicara panjang lebar hingga pada akhirnya mereka berada dikamar dan keikopun melakukan pekerjaannya sebagai geisha.

Senin, 19 Desember 2011

Harapan yang Datang dan Pergi

Ketika ku terdiam atau terlelap dalam mati yg singkat,wajahku tergambar dalam warna hitam di kelopakku begitu jelas memancarkan kesepian abadi, kesedihan yg menyakitkan. Bagai embun pagi yg terjatuh dari daun yg melengkung tak peduli. Kepedihan memberiku kecantikan yg bercahaya,dgan getaran mematikan hatiku. Tetapi pada waktu tertentu aku melihat cahaya sesaat, seperti kilatan petir di malam hati. Menciutkan nyali. Namun binar matanya sekilas harapan. Aku tlah memasrahkan diri ku kehilangan,meski pun sejak pertmuan kita,sekali lagi harapan menguat kembali. Takdir mengguncang dan mendorongku kesana kemari, bagai sampah dimainkan ombak. Kemudian seperti seorang pemimpi yg terbangun,wajahku berubah secerah matahari, terhibur karna keindahan dari kenangan singkat akan wajah pujaan hati,dan kemudian aku melanjutkan hidupku. Aku bergerak dari jam ke  jam,dari hati ke hati,menenggelamkan diriku dalam segala aktifitas manusia yg bernyawa.

Menentang Takdir

Takdirku mengharuskanku menyerah. Garis tanganku brkata aku tak bisa meraihnya. Seiring waktu cinta bisa memudar,tetapi tidak pernah hilang. Cinta akn tetap brsamaku spt rasa lapar org2 mskin. Syangnya lapar itu tlah memakan ususku,,. Dewa kematian tlah membayang2i mereka, merebut kehidupan yg sebenarnya masih mereka miliki. Bgtu pula cintaku, walau ku tau ini hny sia" ku tak kan berhenti mencintaimu. Mskipun tangan takdir menamparku keras2... Aku peduli, tapi tak peduli. Apa gunanya peduli dan tidak jika itu tak merubah kenyataan yg tertulis di kitabNya. Cinta ini milik hatiku, dan Hatiku milikNya! Dia memberi kekuatan besar untuk mencintaimu, dan aku yakin ada rencana dibaliknya...

Hatiku Ternoda Dunia

Pada saat ini aku tidak bisa lagi melakukan apa yang ingin aku lakukan...
Jiwaku seakan telanjang. Aku tak bisa mengingat ayat-ayat Al Quran atau mengingat artinya iman. Sepertinya para setan/iblis terkutuk itu mulai menggerogoti imanku...
ku bacakan Ayat Kursi berulang kali untuk mengusir para setan pengusik hati, beberapa putaran jam berlalu.
Kemudian aku sadar, hal itu tak berpengaruh karena hatiku sendirilah yang mengurus dan memberi makan sang setan. Aku pura-pura tak tahu dan tak ingin tahu bahwa mereka telah bersahabat...
Ku tak bisa menjerit, bermunajat,, karna mulutku telah terbungkam oleh tangan-tangan setan...
Hatiku tak bisa lagi merasakan nikmatnya iman, karena iblis telah memenuhinya dgn dosa-dosa...
keningku tak lagi dapat menyatu dgn sajadah, karena di dalamnya, di pikiranku telah tertanam pikiran-pikiran kotor...
tak ada yang bisa menolongku kecuali kemurahan hatiNya...

Bintang

Malam ini langit berawan...
Bulan bersembunyi di balik gumpalan awan rendah, bintang-bintang tampak pudar dan jauh, seolah-olah mereka telah melepaskan tanggung jawab atas keterlibatan mereka terhadap nasibku...
Andai saja bintang-bintang itu bisa mendekat, menggerakkan bumi dengantenaga mereka membelokkan nasibku agar menjadi lebih baik...
Itu adalah sebuah harapan kosong, apakah bintang-bintang itu benar-benar peduli? Bisakah mereka melihat kekuatan hatiku yang berusaha berlari menjauh dari datangnya cahaya fajar yang akan semakin menuakan wajahku, mengikis waktu bernafasku...
Aku melihat angkasa begitu dekat,bagai melihat sebentang tanah di hadapanku.
Dimana bintangku berada?
Di sana, lebih jauh daripada bintang yang terjauh. Cahayanya menyinariku, mengedipkan bahwa ada kejutan untukku.
Nasib baik di pihakku.
Tetapi kemudian, secara menakutkan karena tidak ada angin, bahkan tidak sedikitpun angin sepoi bertiup, segumpal awan menghalangi bintang itu dariku.
Mungkin aku hanya boleh menatap bintang tersebut, tak boleh mengharap bintang itu kumiliki.

Senja

Senja datang begitu cepat, tanpa sayap-sayap angin sejuk yang membelai indra peraba dengan kelemahlembutannya, tetapi hawa panas dan berdebu bagai mengusir sang angin dengan tarian anggun mereka, memudarkan cahaya matahari menjadi lapisan kuning keruh yang menggantung di atas bumi. Memudarkan senyum pada jiwa-jiwa yang kehilangan nyawa hingga hanya memiliki mata yang penuh dengan doa untuk mengungkapkan seluruh munajat mereka, tentang cinta dan lapar... mereka tak lagi dapat merintih sepelan bisikan angin karena mulut mereka terkunci oleh pikiran mereka sendiri. “Aku memilih mati daripada hidup seperti ini”.

Minggu, 18 Desember 2011

KEJUTAN


           
“Uwaa...!!!” terdengar suara tangis bayi di petak kecil sebuah gubuk tua. Sang ibu tergopoh-gopoh menyambar anaknya. Kemudian menyanyikan lagu mainan jawa pada anaknya sambil diayunkannya sang anak ke kanan dan ke kiri. Manjur juga senandung ibunya, karena tiba-tiba sang anak diam dan terlarut pada rasa kantuk. Sang ibu terus bersenandung sambil melanjutkan aktivitas yang semapt ditinggalkannya tadi, menyapu lantai tanahnya yang telah mengeras. Kemudian masih ada banyak pekerjaan yang menunggunya, memandikan Ali, si bungsu yang baru berumur 2 tahun, mencari kayu bakar di hutan, menanak nasi, dan masih banyak lagi. Untung saja, tugasnya dibantu oleh kedua anaknya yang mulai beranjak besar. Tulip dan Gatot. Suaminya sudah berangkat pagi-pagi sekali. Supri, lelaki yang telah mendampingi hidupnya selama 14 tahun itu bekerja sebagai penambang batu di desa Ngarsorejo yang berjarak 45 km dari rumahnya. Benar-benar jauh, dan Supri hanya mengendarai sebuah sepeda kayuh Phoenix lama yang telah berkarat sana-sini.
            Sambil menanak nasi, Marni melamunkan hidupnya. Ini bukan cita-citanya. Tentu saja, siapa yang mau hidup di tengah padang ilalang luas yang mempunyai tetangga terdekat 15 km jauhnya. Siapa yang mau, hidup miskin yang makan seadanya dengan 3 anak yang semakin besar semakin menambah biaya. Siapa yang mau jadi orang yang tak berpendidikan. Siapa yang mau tinggal di gubuk kecil yang tak terjamah listrik sama sekali. Miris memang, menjadi orang tak berpendidikan, ingin hati menyekolahkan kedua anaknya yang telah berumur 12 tahun dan 9 tahun itu, namun apa daya jika untuk makan sehari-hari pun harus bekerja mati-matian. Bagi mereka, sekolah,belajar dan buku adalah kata-kata yang tabu.
“Kini, Tulip benar-benar beranjak dewasa. 2 hari yang lalu meminta izin untuk bekerja di kota, tapi bagaimana mungkin aku tega mengizinkannya? Selama hidupku saja aku baru saja dua kali ke kota itupun ketika aku masih kecil. Bagaimana mungkin aku merelakan anakku untuk mengadu nasib di tempat yang tak ku kenal” pikiran Marni berkecamuk mengenai kehidupan keluarganya.
Tapi bagaimanapun juga ini adalah pilihannya. Menikah di usia 17 tahun dengan seorang pemuda pilihan ibunya. Tentu saja Marni tak menolak, karena Supri adalah pemuda yang lemah lembut, sabar, sopan dan pekerja keras. Pembawaanya yang alim, langsung membuat Marni jatuh cinta ketika bertemu dengan Supri.
 Marni tiba-tiba terhenyak, teringat akan kata-kata suaminya tadi pagi sebelum berangkat. Sambil mencium kenaing Marni, sesuatu yang jarang terjadi, dan dengan tatapan mata sayu, Supri mengatakan sesuatu yang membuatnya penasaran sampai saat ini. “Marni, aku akan memberimu kejutan” katanya sambil tersenyum. Senyum itu masih meninggalkan kesan dalam di hati Marni. Kemudian suaminya pergi, Marni masih terpaku mamandang siluet suaminya yang tercipta karena hembusan cahaya fajar. Sayangnya, Marni tidak suka kejutan, karena itu membuatnya penasaran. Seumur-umur baru kali ini Marni mengenal sebuah kata kejutan dalam kalimatnya. Dan itu membuatnya tidak tenang.
            Marni kemudian bergegas memandikan Ali, kedua anaknya yang lain telah meninggalkan rumah satu jam yang lalu. Mereka membantu pekerjaan ibunya, mencuci pakaian di kali pinggir hujan. Ketika Marni hampir beranjak menuju belakang rumahnya, tiba-tiba di ujung jalan dia melihat sebuah mobil pick-up sedang menuju rumahnya. Marni menatap tak percaya, “apakah mereka tersesat?”. Sekali lagi ini adalah kejadian aneh dalam hidupnya. Sebuah mobil menuju rumahnya? “siapa?” , “untuk apa?” dan “kenapa?”. Mobil itu kini semakin dekat dan mangambil posisi untuk berhenti di depan rumahnya. Marni keluar dan bertanya setengah tergagap, bukan hanya karena kaget tapi juga karena Bahasa Indonesianyayang tak terlalu lancar, “apakah anda tersesat?”. Sang sopir turun, dan tersenyum. “tidak, aku membawa kejutan dari Supri”. Marni terlonjak mendengar kata itu lagi “kejutan?”. Lalu 2 orang yang berada di bagian belakang menurunkan sebuah sepeda kayu baru. Marni benar-benar terkejut bukan main. “inikah yang namanya kejutan?”. Perasaannya meluap-luap. Senang, terharu, malu, bingung, semua jadi satu. Dihadapannya kini, berdiri sebuah sepeda kayuh merah menyala. Marni terpaku, takjub. Dia mengagumi kejutannya. Tiba-tiba dia merasa suka kejutan. Sangat suka.
            Kemudian salah satu dari mereka berkata, “ada pesan titipan dari mas Supri, katanya hadiah ini adalah hadiah pernikahan kalian,semoga kamu menyukai hadiah ini. Malam ini akan menjadi malam yang indah di pasar malam Palem”, sambil tersenyum lelaki itu menuju mobilnya dan mengajak kedua temannya pergi. Mereka meninggalakan Marni yang terpaku sendiri. Menatap kejutannya. Air matanya mulai menetes, ada perasaan haru yang menyesakkan, kemudian timbul rasa cinta yang menggebu-gebu pada suaminya. Timbul rasa ingin setia dan mengabdi pada suaminya walaupun kemiskinan makin hari semakin mengikis kebahagiaan mereka. Darimana suaminya bisa mendapat uang sebanyak ini? Pikiran itu berkelebat sebentar di pikiran Marni. Tapi saat ini, hatinya terlalu berbunga-bunga untuk memikirkan hal semacam itu. Marni sangat terkejut, mengetahui bahwa hari ini adalah hari pernikahan mereka, pernikahan 14 tahun yang lalu, yang begitu sederhana. Dan bahkan tak meninggalkan kesan mendalam di hati Marni. Tapi hari ini adalah hari terindah untuk Marni. Dan nanti suaminya akan mengajak ke pasar malam di desa Palem, 15 km jauhnya dari gubuk miliknya.marni ingat betapa ia merajuk pada Supri untuk mengajaknya ke pasar malam bersama anak-anak. Suaminya, seperti biasa hanya tersenyum dan berkata, “sepeda kita tidak cukup Mar”. Dan kalimat itu cukup membungkap mulut dan menguapkan harapan Marni. Namun hari ini, harapannya akan terwujud! Supri benar-benar membuat Marni bahagia hari ini, lebih dari kebahagiaan apapun yang pernah dirasakan oleh Marni.
Marni membayangkan ia dan suaminya menelusuri jalan kecil menuju desa Palem. Ia akan membonceng Tulip, dan suaminya akan menbonceng Gatot dan si kecil Ali. Mereka akan tertawa-tawa sepanjang jalan. Dan Marni akan memandang suaminya penuh cinta lebih dari apa yang telah ia tunjukkan 14 tahun terakhir. Tiba-tiba dia merasa suaminya akan pulang lebih awal. Mereka akan membutuhkan waktu untuk bersiap-siap ke pasar malam. Biasanya suaminya pulang jam 5 sore. Tapi Marni yakin, Supri akan pulang lebih cepat.
“aku akan memberikan kejutan sebelum mas Supri saat mas supri pulang” pikir Marni. Dengan cekatan ia mengencangkan gendongan Ali di punggungnya dan membawa masuk hadiahnya dengan hati-hati, ditaruhnya di pojok gubuknya dan ditutupinya dengan jarik gendongan lusuh. Lalu, ia melesat ke dapur mengambil pisau dan tas keranjang. Dia pun tergesa-gesa menutup pintu rumahnya dan bergegas ke hutan, ia akan memasak makanan spesial untuk suami tercintanya. Namun sebelum itu dia harus mencari bahan-bahan makanan di hutan. “semoga aku beruntung hari ini” doa Marni sebelum berangkat. Kadang di hutan, jika kita beruntung kita bisa mendapatkan bahan makanan langka yang melimpah ruah, yang jika dimasak dengan bumbu sederhana akan menjadi masakan yang sangat lezat. Namun, jika kita tidak beruntung kita bisa bertemu seekor harimau atau minimal seekor babi hutan. Dan tetap saja, keduanya mengancam nyawa Marni. Namun, hari ini dia akan melakukan apa saja untuk membalas jasa suaminya.
Setelah dia berangkat ke hutan, Marni menyempatkan diri untuk berpamitan pada kedua anaknya di kali pinggir hutan.
“nduk,le, mamak arep nyang alas gede. Arep golek bakal panganan. Tulip, adimu jogoen”
“inggih buk,ngatos-atos”
“yo”
Seraya menjawab anaknya, Marni segera melesat ke hutan. Dia berharap akan menemukan jamur langka yang sangat jarang ditemukan. Marni tak sengaja menemukannya sekitar 6 bulan yang lalu. Dan ia tambahkan pada sayur terong masakannya. Dan hasilnya,benar-benar enak. Pikirannya melayang-layang pada ekspresi yang bakal ditunjukkan suaminya nanti. Mungkin perasaan Marni sekarang sama dengan apa yang dirasakan Supri pagi tadi. Kini, Marni telah melangkah terlalu jauh. Kakinya yang tak beralas samasekali sudah mengelurakan darah yang membuat Marni merasa perih. Namun dia tak patah semangat, tas keranjangnya belum terisi apa-apa, sedangkan nyeri mulai menjalar dari terlapak kakinya. Patahan kayu maupun duri tanaman membuat kulit telapak kaki Marni robek semakin lebar dan dalam. Beban tubuh Ali di punggungnya, membuat Marni semakin letih. Dia tiba-tiba merasa pusing, Marni terhuyung ke kanan. Dia tak menyadari ranting tajam yang mencuat dari pohon setinggi pundaknya. “aduuh!”, terlambat ranting itu kini telah menyobek lengan atas Marni. Tampaknya luka tersebut cukup dalam. Ia merasakan kenyerian dan tetes darah mengalir semakin deras. Ia bisa melihat daging lengannya menganga dan mengeluarkan cairan merah pekat.
            Marni berusaha kuat. Tiba-tiba ia melihat apa yang dicarinya. Jamur yang berwarna coklat muda itu terlihat di bawah sebuah pohon pinus lembab. Mata Marni kini berbinar bahagia, ia mendekati pohon itu dengan jalan yang terseok-seok. Maklum saja kakinya kini benar-benar terasa perih apalagi semakin dia melangkah semakin banyak benda asing yang melukai kulit terbukanya. Ia berdiri tepat di depan pohon pinus, kemudian ia berjongkok untuk mengambil jamur yang menjadi tujuannya. Ketika ia sedang asyik mencabuti jamur itu, terdengar olehnya derap kaki mendekat yang membuatnya was-was. Ia menoleh pada anak bungsunya, si kecil itu sedang meringgkuk di gendongannya. Ketika derap kaki itu terdengar semakin dekat, ia buru-buru berdiri dan segera meninggalkan tempat itu. Tapi terlambat! Seekor babi hutan sedang berlari di sekitar tempat itu. Ia buru-buru berlari sebisanya untuk keluar dari hutan. Ia tak ingin babi hutan itu menyadari keberadaanya. Marni terus berlari, mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Perih di tubuhnya, benar-benar tak dihiraukannya mengingat suaminya Supri yang akan menikmati masakannya nanti.
            Ternyata Marni terlampau jauh masuk ke dalam hutan, nyatanya setelah ia berlari kecil sekitar 10 menit ia belum juga melihat sungai yang membatasi hutan dengan padang ilalang, tempat Marni tinggal. Tiba-tiba Ali menangis, mungkin ia kaget saat sadar Ibu yang menggendongnya sedang berlari. Marni juga sudah mulai merasa letih, ia merasa sudah menghabiskan waktu berjam-jam di hutan. Marni merasa tenaga yang dimilikinya semakin melemah, ia hanya perlu melakukan satu hal untuk mengembalikan semangatnya kembali. Yaitu, mengingat senyum Supri, suami tercintanya. Ia kembali berjalan cepat dengan mantap. Ali digendongnya di depan, sambil ia nyanyikan sebuah lagu.
            Akhirnya ia melihat sungai itu, Marni semakin mempercepat langkahnya. Dilewatinya sungai itu dengan hati-hati dan beberapa waktu kemudian sampailah ia di gubuk kecilnya. Dilihatnya Tulip dan Gatot sedang membuat sapu lidi untuk dijual bapaknya esok hari.
“mamak sampur kundur” sambut Gatot
“mak, njenengan “ Tulip khawatir
“ora nduk, mamak ora gene-gene, Gatot iki momongen Ali. Mamak arep masak kanggo bapak. Tulip ngewangi mamak”
“nopo boten diobati rumiyin mak?”
“orasah Lip, selak bapakmu mulih. Ayo nyang pawon”
Kemudian, disuruhnya Tulip meracik bumbu-bumbu yang diperlukan. Sementara Marni membersihkan jamurnya. Selama proses memasak itu Marni sering tersenyum sendiri, sambil sesekali mencuri pandang ke arah kejutannya. Perih yamg dirasakannya, meskipun belum terobati sama sekali tak menyurutkan semangatnya untuk membalas kejutan dari suaminya.
            Sebentar lagi masakannya akan selesai, ia mengambil mangkok putih bergambar ayam jago. Magkok itu sangat jarang dipakainya, dan kali ini akan dipakai untuk menyiapkan porsi spesial untuk suaminya. Kini sup jamur buatannya telah kelihatan sudah jadi. Baunya memang benar-benar mengundang selera siapa saja yang menciumnya. Ketika Marni tengah mengambil semangkok sup jamur untuk Supri, anaknya Gatot mamanggil-manggil namanya. Segera saja ia keluar untuk menghampiri anaknya. Disana dilihatnya Paijo dan seorang lagi yang tak dikenalnya.
“Ono opo iki?” tanya Marni bingung. Semua diam saja.
“Enek opo Jo koe menyang omahku. Mas Supri endi?” Marni bertanya kembali dan dilihatnya muka Paijo yang seakan yang ingin dikatakanya akan membuat Marni sengsara seumur hidup. Dan dengan berat hati Paijo berkata,
“Iki mau bar enek longsor neng penambangan watu... Supri ketindihan watu gede.”
Paijo menarik nafas panjang,
“Bojomu mati Mar...”
Marni tak bisa bicara, ia merasa seakan langit runtuh menimpanya. Yang ia dengar terakhir kali adalah jeritan putri sulungnya, sesaat ketika pingsan merenggut semua kesadaran dari raganya. Mas Supri mati...

Sabtu, 10 Desember 2011

kesunyian abadi

angin menamparku hari ini...
terlalu keras , terlalu sakit...
menitik sedikit demi sedikit...
tetes tetes yang penuh luka,
terbuang sia sia

menguap tanpa asa
mengering penuh duka
tanpa rasa, tanpa cinta...
menghijau, membiru, memutih
semua berpadu...
indah... asri...
tapi semua sunyi

tiada hijau yang bergoyang,
tiada biru yang berarak,
tiada putih yang berlari.

daun gugur, melangkah tertatih...
lemah dan tanpa daya,
semua sembunyi, dari kesunyian...
angin takut, aku takut,
semua takut mati ,
mati, mati dan mati...
sembunyi, sunyi, dan mati...

Jumat, 09 Desember 2011

Kepada Firdha

SULTAN FAHREZI
Setelah merayakan ulang tahunku yang ke 12, ayah mengajaku ke salah satu Mall terbesar di Jogja. Beliau mengizinkanku membeli apa saja yang aku mau. Tentu saja aku senang bukan main. Aku sangat ingin membeli robot-robotan terbaru seperti di iklan televisi. Setelah sampai di Mall aku langsung mengajak ke pusat mainan, aku langsung menemukan mainan yang aku cari karena mainan itu sangat terkenal. Robot itu sangat keren dengan pedang di tangannya. Sayangnya, di etalase toko itu tinggal satu robot yang dipajang. Aku segera menghampiri toko itu, namun saat aku mencapai setengah jarak yang kutempuh. Ada seorang anak perempuan berpakaian laki-laki yang mengambil robot itu dan beranjak membawanya ke kasir. Buru-buru aku manghentikan anak perempuan itu.
“hei kamu!”
“mhh... aku?”
“ya kamu, kenapa kamu membeli mainan itu? Bukankah kamu seorang anak perempuan, kenapa tidak membeli boneka saja?”
“terserah aku, apa masalahmu?”
“aku ingin mainan itu, berikan padaku”
“tidak akan!”
“apakah kau tahu? Aku cucu Sultan! Aku seorang pangeran, kau harus memberikan mainan itu padaku!”
“apa peduliku? Aku tidak akan memberikan robot ini padamu!”
Anak perempuan itu kemudian berlari ke arah kasir dan dengan cepat menuju pintu keluar. Aku terpaku, rasanya pengen menangis. Aku selalu mendapatkan apa yang aku mau, kenapa kali ini tidak? Ini gara-gara anak itu. Padahal aku seorang pangeran. Aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi tentang pangeran. Itu hanya akan membuatku kecewa jika keinginanku tidak dituruti. Tiba-tiba aku benci karena menjadi seorang pangeran.


6 TAHUN KEMUDIAN...

FIRDHA
Aku mencintainya. Sangat sangat mencintainya. Dialah pangeranku. Aku begitu mengaguminya, sejak pertama kali melihatnya pada MOS sekolahku 6 bulan yang lalu. Di adalah orang yang sangat pendiam, berwibawa, keren, dan alim. Benar-benar orang yang istimewa. Namanya Sultan Fahrezi, jangan kaget dengan nama depannya, karena dia memang adalah salah satu cucu Sultan Yogjakarta. Jadi tidak salah juga aku memanggilnya Pangeran, karena dia benar-benar seorang Pangeran. Aku selalu mengharap keajaiban bahwa pada suatu saat nanti dia punya perasaan yang sama denganku. Apakah ini terlalu konyol? Mungkin itu adalah keajaiban terbesar yang akan pernah aku rasakan. Karena hal itu terlalu tidak mungkin, dan apakah aku menyerah untuk mencintainya? Tidak, karena aku tulus mencintainya... namun, demi dia juga aku rela mengubah penampilanku habis-habisan. Yang mulanya aku tomboy, kini berubah menjadi putri yang lemah lembut.
Sepeti  sore ini, ketika aku mengikuti Ekstra Kulikuler Melukis, aku memakai dress panjang putih polkadot dan memakai bandana hitam berpita. Benar-benar manis. Aku melangkah di sepanjang koridor sekolah dengan senangnya, eits, sebenarnya aku tak suka melukis, aku benar-benar tak berbakat di bidang seni. Tapi gimana lagi, aku ikut Ekstra Melukis karena Sufa (singkatan dari Sultan Fahrezi) adalah Ketuanya...!!! aku menuju ke ruang melukis. Disana aku melihat Sufa sedang melanjutkan lukisannya. Sebuah lukisan abstrak yang tak begitu jelas... kemudian aku menuju meja lukisku yang mengambil alat-alat yang kuperlukan. Aku sedang menggambar Sufa yang lagi berjalan dengan gaya khasnya, cool. Tapi gambarku benar-benar awut-awutan. Dan gak mirip samasekali. Malah terlihat seperti gambar abstrak. Kemudian aku memilih memandangi Sufa yang sedang serius. Dia benar-benar tampan... tiba-tiba aku dikagetkan oleh Loli, teman dekatku.
“HAYOO, NGELAMUNIN SUFA YA....!”
Mungkin dia memang gak sengaja membunuhku di tempat itu, tapi suaranya yang benar-benar keras itu membuat seluruh orang yang ada di tempat itu menoleh pada kami berdua. Tak terkecuali Sufa. Aku merasa tiba-tiba pipiku terasa panas. Kemudian Reza, salah satu teman Sufa menambahi,
“WAH, ZI KAMU PUNYA PENGGEMAR KECIL DISINI”
Dan semua yang ada di ruang lukis itupun tertawa sambil melanjutkan aktivitasnya. Tapi, aku lihat hanya Sufa yang tidak tertawa. Wajahnya semakin dingin, dia melukis seolah tidak peduli apa yang baru saja terjadi. Tiba-tiba dadaku sesak. Aku ingin keluar dari ruangan ini. Aku ingin menangis. Loli yang merasa jadi penyebab semua ini, meminta maaf padaku. Aku tak mengacuhkannya. Aku berdiri dan menuju ke halaman belakang sekolah.
Aku menangis sepuasnya disana, melihat sikap dingin Sifa benar-benar membuat dadaku sesak. Dan aku menangis...


REZA
Dia keluar dari ruang lukis. Mungkin dia marah karena perkataanku? Aku bingung antara menyusulnya atau tidak. Jujur aku benar-benar kecewa, gadis yang aku sukai, ternyata juga menyukai sahabatku sendiri. Ezi memang benar-benar sosok idola, dan aku disini seperti seorang pembantu yang selalu mengikuti kemana majikannya pergi. Wajahku memang tidak ada apa-apanya dengan Ezi, apalagi tentang kekayaan. Keluarga Ezi sangat kaya, namun selalu sederhana. Tidak mengherankan jika banyak gadis yang suka padanya, termasuk Firdha. Aku benar-benar menyukainya ketika pertama kali melihatnya. Dia adalah gadis cilik berwajah manis, imut, dan ceria. Siapapun pasti langsung akrab dengannya. Kecuali aku,aku tidak berani berkenalan dengannya. Biarlah, mungkin aku hanya bisa memandangnya dari jauh... seperti sekarang ini. Aku mencintaimu Dha...

FIRDHA

Dua bulan dari kejadian di ruang lukis itu, kini aku mulai memendam perasaanku pada Sufa. Berpura-pura tidak menyukainya lagi. Sulit memang, karena setiap melihatnya hatiku selalu berdebar keras dan rasanya aku melihat sesuatu yang sangat indah. Terlalu indah mungkin. Tentang Loli, aku sudah memaafkannya. Kini hariku berjalan terlalu biasa, tanpa teriakan histerisku pada Sufa. Jika tidak sengaja bertemu dengannya, aku selalu memalingkan wajahku... gara-gara kejadian itu, hampir semua orang di sekolah ini tahu, bahwa seorang Firdhaus Manira menyukai Sultan Fahrezi. Aku merasa terlalu tidak ada apa-apanya dengan seorang pangeran seperti dia. Mungkin dia bisa jatuh cinta dengan seorang putri solo, atau dengan seorang anak konglomerat yang lemah lembut. Yang jelas, tidak seperti aku.
Kini masalahku adalah meyakinkan teman-teman bahwa aku tak lagi menyukai Sufa. Tapi bagaimana caranya? Berita tentang perasaanku padanya telah mengudara di sekolah ini. Maklum, berita tentang Sufa memang selalu bikin heboh.
Hmmm, apa aku harus punya pacar ya? Apakah aku harus menerima Wawan, cowok yang begitu setia mengejark selama ini? Selain dia, apakah ada yang mau denganku? Yang jelas-jelas menyukai sang pangeran? Aku perlu konsultasi...

RANI
Cerita Firdha selalu lucu, aku menyukai adik kecilku itu. Orangnya ceria, imut-imut dan menggemaskan. Dari setahun yang lalu ketika aku mulai menganggapnya adik, dia langsung bisa terbuka padku. Bercerita tentang Ezi, yang dipanggilnya Sufa. Lucu juga, panggilan buat Ezi dari adik kecilku itu. Dia selalu bercerita menggebu-gebu tentang Ezi, apapun tentang Ezi pasti diketahuinya. Dan aktivitas yang dilakukan Ezi pasti selalu diingatnya, sedetail-detailnya. Bayangkan, bahkan Firdha hafal merk sepatu, tas, jaket,nomor plat motor, nama ayah-ibu, adik-kakak, pokoknya dia benar-benar  tergila-gila dengan Ezi. Dia suka bercerita padaku, mungkin karena aku selalu memberikan informasi terbaru tentang Ezi. Itu karena aku adalah teman sekelasnya, aku juga Ketua II Ekstra Melukis.
Tapi hari ini, ketika dia menemuiku, wajahnya terlihat lesu. Dia mulai cerita dengan kata-kata yang tabu di telingaku.
“Aku akan melupakan Sufa”
Mengingat betapa besar perasaan Firdha pada Ezi, terlalu aneh dia mengatakan itu. Kemudian dia bercerita banyak, bukan tentang Ezi, tapi tentang Wawan seorang cowok yang dengan setia menunggu cintanya. Aku tak bisa mengatakan apa-apa karena pikiranku terlalu melayang jauh.


FIRDHA
Dua bulan kemudian, tepat hari ini, 17 Juli 2011 , aku jadian dengan seorang cowok. Bukan Sufa (jelas), juga bukan Wawan, cowok itu adalah Eggi. Anak kelas sebelah. Teman curhatku satu bulan terakhir. Aku banyak bertanya padanya tentang cara menaklukan cowok. Tapi malah dia sendiri yang menembakku, karena aku butuh pelarian akhirnya kuterima dia. Jujur, aku kasihan padanya. Dia adalah cowok manis, sopan, baik,perhatian, dan dewasa. Tapi aku benar-benar membutuhkan sosok pacar saat ini. Untuk menunjukkan pada Sufa, teman-temannya, teman-temanku, bahwa aku bisa berpaling dar Sufa.
Hari-hari SMA-ku kulalui dengan menghabiskan waktu dengan Eggi. Aku benar-benar terpaksa. Aku hanya ingin menunjukkan pada semuanya bahwa aku bisa melupakan Sufa. Walaupun sampai detik ini, aku masih mencintainya. Sangat mencintainya. Gaya pacaranku dengan Eggi? Mungkin aku terlalu kejam, aku selalu menyuruhnya ini-itu, membelikanku sesuatu, mengantarku kemanapun,tapi setiap hari aku selalu marah-marah padanya, selalu tak mempedulikannya, dan tak pernah mengatakan cinta padanya. Bagaimana lagi? Ku memang tak cinta padanya...
Sampai hari ini pun, ketika 6 bulan jadian kami, dia memberikanku hadiah boneka Hello kitty,dan seikat bunga mawar aku malah membuangnya di depan matanya sendiri. Itu karena dia telat datang kerumahku. Aku sudah menunggu selama 15 menit, tapi dia belum datang-datang juga. Setelah menit keduapuluh, akhirnya dia muncul. Dia terlihat kecewa ketika aku melempar hadiahnya...

EGGI
“kamu tahu kenapa aku sampai telat datang kerumahmu? Itu karena aku sudah muter-muter seluruh Jogja untuk membelikanmu hadiah spesial ini. Dan aku harus antri untuk membelinya. Tahukan kamu bahwa jalanan Jogja malam ini sangat ramai? Macet? Dan kamu melempar hadiahku ini seakan tak ada harganya. Pikirkan perasaanku sedikit saja. Aku telah melakukan semuanya untukmu. Aku merasa seperti pembantumu, yang ketika kau butuh aku kamu memanggilku, ketika kau tak membutuhkanku kau tak pedulikanku. Aku sayang kamu Dha, sangat sayang. Makanya aku melakukan ini, melakukan semua ini untukmu. Tak pernah kau rasakankah besarnya rasa cintaku padamu? Kenapa kau begitu tega padaku? Apa salahku? Aku sayang kamu. Mungkin aku memang tak pantas bersamamu. Kau begitu populer, banyak penggemar, dan aku hanya seperti ini. Tapi jangan seperti ini, aku terlalu sakit Dha...”
Hanya itu yang bisa aku katakan pada gadis dihadapanku ini. Aku sangat mencintainya, dan aku tahu selama ini dia tak mencintaiku sama sekali. Dia hanya mencintai Ezi. Aku mengatakan ini, air mataku tak bisa kubendung lagi, terlalu sakit yang kurasakan selama ini.  Kemudian aku mengelus kepalanya, dan pulang. Dia pun tak mengatakan sepatah katapun ketika aku meninggalkan rumahnya.

FIRDHA

Entahlah, ketika dia meninggalkanku, ketika aku menatap punggungnya yang semakin jauh meninggalkanku. Tiba-tiba aku merasa sangat kehilangan. Tuhan... aku mencintainya.

EGGI
Hari ini aku memberikan kejutan pada pacarku tercinta,tepat setahun setelah tanggal jadian kami, sebuah cincin tunangan. Mungkin terlalu dini untuk kamu karena kamu baru kelas 2 SMA. Tapi aku ingin benar-benar serius dengannya. Aku sangat mencintainya. Tidak seperti 6 bulan lalu, kini dia langsung memelukku. Berkali-kali dia mengatakan “I love you”. Aku berhasil menaklukannya, sobat. Gadis kecilku ini telah benar-benar jatuh cinta padaku. Aku tak meragukannya sedikitpun. Berkali-kali dia berusaha meyakinkanku bahwa dia telah melupakan Ezi walaupun aku tak berharap secara utuh hatinya diberikan padaku, aku sudah sangat senang dengan keadaan ini. Gadis yang benar-benar aku cintai, kini juga mencintaiku. Sifatnya juga berubah 180 derajat, dia kini begitu dewasa, perhatian, dan pengertian. Kini hatiku sepenuhnya miliknya. Aku benar-benar mencintainya.

FIRDHA
Aku mencintainya... bukan, bukan Sufa. Tapi Eggi. Memang aku tak bisa menghapus bayang-bayang Sufa sepenuhnya. Tapi aku sangat mencintai Eggi. Kini aku baru sadar betapa besar pengorbanannya untukku. Pokoknya aku sangat sayang Eggi dan ingin selamanya dengannya, tak ada lagi nama Sultan Fahrezi. Titik!!!!!
Hari ini kami merayakan setahun jadian kami di Teafunny Cafe, berdua saja. Dan dia memberikanku sebuah cincin berukir namanya “Eggi”. Sangat romantis bukan? Tentu saja aku langsung memeluknya. “I love you, Eggi”, hanya itu yang bisa aku katakan. Aku benar-benar spechless. Tiba-tiba handphone ku berbunyi. Ada sebuah sms masuk...

RANI
To: Firdhamoetz [087789243112];
Slmt ya dek, ats setaun jadian.a ama dek Eggi. Mg klian langgeng deh...
-SEND-
Kemarin baru saja Firdha bilang bahwa hari ini adalah hari setahun jadian dengan Eggi. Dia kemarin terlihat begitu gembira, aku benar-benar yakin bahwa dia memang mencintai Eggi. Dan kini telah melupakan Ezi. Tiba-tiba ada perasaan senang menyelinap di hatiku. Bebanku seakan berkurang ketika cinta Firdha untuk Ezi pudar. Aku yang lebih dulu mencintainya daripada kamu Dha... aku yang lebih dulu...

SULTAN FAHRZI

Firdhaus Manira (Firggian)
Makasih buat kejutannya sayang... i love you ANANDA EGGIAN... :*
Itulah status yang muncul pertama kali ketika kubuka profilmu.
Gelar kesultananku membuatku tak bisa dekat denganmu Dha... Ayah tak pernah mengzinkanku pacaran. Inilah alasan keduaku membenci gelar kesultanan yang aku miliki. Aku yang lebih dulu mencintaimu daripada Eggi. Aku yang lebih dulu mencintaimu daripada kamu menyukaiku... kaulah anak perempuan tomboy yang membeli mainan robot impianku dan memberikannya pada seorang anak pengemis diluar Mall, aku mengikutimu keluar saat itu. Dan ketika melihatmu pertama kali saat MOS, aku yakin kaulah anak perempuan tomboy itu. Aku yakin karna kaulah cinta pertamaku Dha... Aku mencintaimu Dha...

-TAMAT-